Kebijakan Ekonomi Umar bin Khottob RA

Posted: Mei 4, 2010 in muamalat

A. PENDAHULUAN

Dalam sejarah perkembangan peradaban manusia dari masa kemasa selalu dihadapkan pada berbagai persoalan, baik itu persoalan ekonomi, social, politik ataupun budaya. Persoalan yang ada tidak akan pernah habis mengingat munculnya solusi akan diikuti oleh munculnya persoalan baru.

Berbicara ekonomi pada prinsipnya merupakan pembicaraan yang melibatkan kepentingan semua manusia. Tidak mengherankan kalau kemudian banyak yang menempatkan ekonomi sebagai pokok pembahasan. Manusia dituntut untuk mampu melakukan usaha eksploratif tiada henti dalam mencari solusi atas persoalan-persoalan ekonomi.

Sebagai satu sistem kehidupan komprehenssif, Islam dipercaya oleh pemeluknya sebagai ajaran yang secara umum mengarahkan manusia untuk memperoleh dua dimensi kebahagiaan, yaitu dunia dan akhirat. Dismping memuat aturan tentang persoalan teologi, aqidah, ibadah, Islam juga memberikan rambu-rambu tentang persoalan ekonomi, baik secara implisit maupun eksplisit.

Persoalan yang ada sekarang adalah apakah Islam memmpunyai konsep ekonomi? Pertanyaan ini  wajar saja muncul dikarenakan perkembangan pemikiran ekonomi sekarang ini didominasi oleh pemikiran Barat. Berbagai literratur ekonomi Barat tidak pernah menyebutkan akan kontribusi Islam dalam pemikiran ekonomi. Padahal Islam mempunyai sumbangsih yang sangat besar atas perkebangan ekonomi yang pada saat ini mulai diterapkannya konsep ekonomi Islam yang dilhami oleh Al-Qur’an dan Al-Hadist baik dinegara Islam ataupun dinegara non-Islam. Semua ini tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran intelektual Islam yang dimulai dari zaman Rosulullah, khulafa’ ar-rosyidin dan cendikiawan muslim yang lain seperti Ibnu Kholdun dengan kitab Muqoddimah[1], Al-Syaibani, Abu Yusuf [2], Yahya bin Umar, Ibnu Taimiyah, Al Ghozzali, dan masih banyak lagi.

Berdasrkan beberapa literatur yang ada mengenahi perkembangan pemikiran ekonomi Islam dapat dirangkum dalam beberapa pereode sebagai berikut:[3]

Pereode Tokoh Ekonomi Islam
632-656 M Rosulullah SAW
656-661 M Pemikiran Ekonomi Islam dimasa Khulafaurashyidin

Abu Bakar as-Siddiq (632-634), Umar bin Khattab (634-644), Usman bin Affan (644-645), Ali bin Abi Thalib

738-1037 M Pemikiran Ekonomi Islam Pereode Awal

Hasan Al-Bashri (728 M), Zaid bin Ali (738 M), Abu Hanifah (767 M), Awzai (774 M), Malik (798 M), Abu Yusuf (798 M), Fudhail bin Iyad (802 M), Muhamaad bin Hasan Al-Syaybani (804 M), Ma’ruf Karki (815 M), Yahya bin Dam (818 M), Syafi’I (820), Ahmad bin Hambal (855 M), Yahya bin Hambal (855 M), Al-Qusyairy (857 M), Dzun Nun Al Misri (859 M), Ibrahim bin Dam (874 M), Yahya bin Umar (902 M), Qudama bin Ja’far (948 M), Farabi (960 M), Abu Ja’far al-Dawudi (1012 M), Ibnu Maskawih (1030 M), Ibnu Sina (1037 M), Mwardi (1058 M), Al-Kindi (1873 M)

1058-1448 M Pemikiran Ekonomi Islam Pereode Kedua

Ibnu Kholdun (1040 M), Syamsudin al-Sarakhsi (1090 M), Nizamul Mulk Tusi (1093 M), Al-Hujawari (1096 M), Al-Ghozali (111 M), Ibnu Baja (1138 M), Abdul Qodir Jaelani (1169 M), Ibnu Mas’ud Al-Kasani (1182), Ibnu Tufail (1185 M), Al-Shaizari (1193 M), Ibnu Rusyd (1198 M), Fakhruddin Al-Rozy (1210 M), Ibnu Arobi (1240 M), Al-Attar (1252 M), Najmuddin ar-Rozi (1256 M), Jalaludin Rumi (1274 M), Muhammad bin Abdurrahman Al-Haabaasyi (1300 M), Ibnu Taimiyah (1328 M), Ibnu Ukhuwa (1329 M), Ibnu Qoyyim (1350 M), Abu Ishaq Al-Shatibi (1388 M), Al-Maqrizi (1441 M)

1446-1931 M Pemikaran Ekonomi Islam Pereode Ketiga

Syekh Ahmad Sirhindi (1524 M), Ibnu Nujaim (1562 M), Syah Waliyullah Al-Dehi (1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab (1787 M), Ibnu Abidin (1836 M), Jamaluddin Al-Afghani (1897), Mufti Muhammad Abduh (1905 M), Muhammad Iqbal (1938 M)

1931- sekarang Pemikiran Ekonomi Islam Pereode Lanjut

uhammad Abdul Manan (b. 1938), Muhammad Najatullah Siddiqi (b. 1931), Syed nawad Haider Naqvi (b. 1935), Monzer Khaf, Sayyid Mahmud Taleghani, Muhammad Baqir as-Sadr, Umer Chapra

Untuk lebih memberikan kejelasan dan pengetahuan atas sumbangsih pemikiran para pemikir ekonomi Islam khususnya pemikiran ekonomi pada masa Khulaf Ar-Rosyidin, maka makalah ini akan mejelaskan praktek ekonomi dengan berbagai kebijakan ekonomi khusus pada masa kholofah Umar bin Khattab yang dalam sejarah pada masa Umar inilah sebagai masa gemilang  peradaban Islam dalam perkembangan politik maupun ekonomi.

B. PEMBAHASAN

1. BIOGRAFI UMAR BIN KHATTAB

Khalfiah Umar bin Khattab merupakan khalifah kedua setelah Abu Bakar as-Siddiq yang sukses dalam menjalankan amanat umat dalam menjalankan roda pemerintahan. Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama sepuluh tahun dan enam bulan, Umar bin Khattab mewujudkan iklim politik yang bagus, keteguhan prinsip, kecermelangan perencanaan; meletakkan berbagai sistem ekonomi dan manajemen yang penting; menggambarkan garis-garis penaklukan dengan banyak melakukan ekspansi sehingga wilayah Islam meliputi jazirah Arab, sebagian wilayah Romawi (Syiria, Palistina, dan Mesir), serta seluruh wilayah kerajaan Persia termasuk Irak dengan pengaturan yang sitematis atas daerah-daerah yang ditaklukkan; menegakkan keadilan disetiap daerah dan terhadap ssemua manusia; melakukan koreksi terhadap pejabat serta memperluas permusyawaratan. Atas keberhasilannya tersebut, orang-orang Barat meenjuluki Umar sebagai The Saint Paul of Islam.[4].

Umar bin Khattab dilahirkan 30 tahun sebelum masa kenabian. Ia hidup selama 65 tahun yang 30 tahun dihabiskan dalam kejahiliyahan dengan menyembah berhala, yang didalamnya dia tidak dikenal kecuali pernah menjadi wakil utusan bagi kaum Quraisy. Sebab, jika terjadi perang di antara kaum Quraisy dan suku lain, maka mereka mengutus umar sebagai utusan. Dan sebagaian lagi dihabiskan untuk menegakkan dan mengembangkan agama Islam serta hanya menyembah kepada Allah SWT sampai akhir hayatnya.

Umar bin Khattab dilahirkan dengan nasab ayahnya bernama Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdil ‘Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Lu’ayyi bin Gholib Al-Qurasyi Al-‘Adawi. Sedangkan dari nasab ibunya adalah Hantamah binti Hasyim bin Mughirah, dari Bani Makhzumi dimana Hantamah adalah sepupu dari Abu Jahal. Umar bin Khattab memiliki kunyah Abu Hafas dan laqob[5] Al Faruq. Dikatakan bahwa dia digelari demikian itu dikarenakan keterusterangnnya terhadap keislamannya, ketika yang lain menyembunyikan keislaman mereka. Maka dia membedakan antara yang hak dan yang batil.[6]

Umar adalah sosok tinggi besar, lebat bulu badannya, raambut teruarai dari kedua sisi kepalanya, berkulit putih kemerah-merahan, berjenggot lebat, berkumis tebal dan menyemir ubannya dengan hana’ (pohon sejenis pacar). Disamping sifat-sifat fisik tersebut, Umar juga memiliki sifat-sifat kejiwaan yang luhur, antara lain: adil, tanggung jawab, keras dalam menyelesaikan berbagai masalah dan menghadapinya dengan tegar dan penuh keteguhan baik masalah pribadi, negara dan agama, santun terhadap rakyat dan sangat berwibawa, disegani, tajam firasatnya, luas ilmunya, cerdas pemahamannya, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin dijelaskan dalam kajian ini.

Ia menyatakan keislamannya pada tahun ke-6 dari kenabian. Keislamannya memiliki pengaruh besar bagi kaum muslimin. Abdullah bin Mas’ud Rodliyallahu ‘Anhu berkata, “Kami selalu sangat mulia sejak Umar masuk Islam.” Dalam riwayat lain  disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud berkata,”Sesungguhnya keislaman Umar adalah penaklukan, hijrahnya kemenangan, dan kepemimpinannya rakmat.”[7]

2. AKTIFITAS EKONOMI BANGSA ARAB

Aktifitas ekonomi mayoritas penduduk jazirah Arab secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:

  1. Perdagangan; Mayoritas aktifitas perdagangan bangsa Arab adalah diperkotaan, dan mereka memiliki pasar musiman untuk berdagang berbagai jenis barang kebutuhan. Pasar musiman ini didatangi oleh orang yang ingin berdagang dan melakukan jual-beli. Perdagangan merupakan aktifitas ekonomi utama bagi mereka. Itu disebabkan karena Makkah merupakan bumi tandus, tidak ada air dan tanaman. Sedangkan penduduknya memiliki kehormatan dalam pandangan orang Arab, sehingga mereka tidak memperlakukan kafilah mereka dengan buruk. Disamping itu letak geografinya yang menghubungkan antara daerah-daerah penting dalam perekonomian, yaitu Syam (Yordania, Palestina, dan Libia), Yaman, dan Habasyah (Ethopia).

Perhatian bangsa Qurais terhadap perdagangan sampai pada taraf mereka melakukan dua kali perjalanan perdagangan dalam setahun, yaitu perjalanan musim dingin ke Yaman dan perjalanan ke Syam pada musim kemarau. Oleh karena itu, kaum Quraisy menjadi kaya dan hidup dalam kemewahan.

  1. Pertanian; Terdapat aktifitas pertanian disebagian daerah yang subur di jazirah Arab, seperti Yaman, Thaif, daerah utara dan sebagian lahan pertanian di Hijaz dan pertengahan jazirah. Diantara daerah pertanian yang penting adalah daerah Madinah dan sekitarnya. Kurma dan gandum merupaka dua hasil pertanian terpenting di Madinah. Akan tetapi sarana prasarana yang digunakan masih sederhana dan konvensional.
  2. Industri; Kegiatan industri merupakan kegiatan ekonomi paling lemah di negeri Arab dan paling sedikit perannya. Mayoritas kegiatan industri adalah sebagai profesi sederhana yang pada umumnya dilakukan oleh oleh para budak dan orang-orang Yahudi. Diantara profesi ini yang sangat menonjol adalah tukang besi, tukang kayu, pertenunan dan pembuatan senjata.

3. KEBIJAKAN EKONOMI UMAR BIN KHATTAB

Pemerintahan Umar bin Khattab dikenal dengan pemerintahan yang bersih ditopang dengan karakteristik pribadi yang tegas dan berwibawa sehingga terbentuk kondisi kenegaraan yang damai, kesejahteraan rakyat semakin baik daripada masa sebelumnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan kondisi perrekonomian dan pendapatan masyarakat Arab pada masa itu dapat digolongkan pada taaraf perekonomian yang merata. Kekayaan dan kemakmuran tersebut mereka dapatkan dari harta rampasan perang (ghonimah), pajak tanah (kharaj), pajak perdagangan/bea cukai (usyur), zakat, pajak tanggungan (jizyah).

Pada masa ini, Umar bin Khattab membentangkan garis perbedaan mendasar pengelolaan ekonomi dengan kerajaan lainnya, seperti sistem fiodalisme yang diterapkan di Iran dan Irak[8]. Dengan menetapkan perekonomian yang  lebih Islami dan tidak mengenal istilah kesewenang-wenangan dari para raja.[9] Umar bin Khattab mengembangakan prinsip ekonomi bersama yang harus dinikmati oleh setiap orang berdasarkan prinsip al-Qur’an dan Sunnah Rosul tentang keadilan dan keseimbangan yang tidak memberi hak perseorangan secara berlebihan, tidak menghembuskan rasa benci pada kelas yang berbeda seperti halnya yang belakangan ini sering terjadi dalam mekanisme  dan sistem penerapan ekonomi Sosialisme[10]. Beliau  telah memanfaatkan semua faktor produksi, tanah, tenaga kerja, modal yang mencegah terjadinya dominasi suatu kelompok kecil. Jika hal demikian terjadi, maka akan membawa kepada stagnasi ekonomi.[11]

Ada beberapa hal penting yang perlu dicatat berkaitan dengan masalah kebijakan ekonomi pada masa Umar bin Khattab, diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. a. Pendirian Baitul Mal

Kontribusi Umar bin Khattab yang paling besar dalam menjalankan roda pemerintahan adalah dibentuknya perangkat administrasi yang baik. Ia mendirikan institusi administrasi yang hamper tidak mungkin dilakukan pada abad ketujuh  sesudah masehi.  Pada tahun 16 H, Abu Hurairah, Amil Bahrain, mengunjungi Madinah dan memmbawa 500.000 dirham kharaj. Jumlah ini merupakan jumlah yang sangat besar sehingga Khalifah mengadakan pertemuan dengan majelais Syura untuk  membicarakan masalah tersebut dan kemudian diputuskan bersama bahwa jumlah tersebut tidak untuk didistribusikan melainkan untuk disimpan untuk keadaan darurat, membiayai angakatan perang, dan kebutuhan lain untuk umat. Untuk menyimpan dana tersebut, maka baitul mal regular dan permanen didirikan untuk pertama kalinya di ibukota, kemudian dibangun cabang-cabangnya di ibukota propinsi. Abdullah bin Irqom[12] ditunjuk sebagai pengurus baitul mal (sama dengan menteri keuangan) bersama dengan Abdurrahman bin Ubaid Al-Qori serta Muayqob sebagai asistennya. Setelah menaklukkan Syiria, Sawad dan Mesir, penghasilan baitul mal meningkat (Kharaj dari Sawad (Irak) mencapai seratus juta dinar dan dari Mesir dua juta dinar).[13]

Untuk mewujudkan keberhasilan pengawasan harta maka khalifah Umar menerapkan independensi perangkat pengwasan baitul mal dari kekuasaan kekuasaan eksekutif (para wali) dan bersandar pada sistem pemisahan tugas administrasi dan tugas-tugas akutansi dalam perangkat negara.

Sedangkan dalam hal mendistribusikan harta Baitul Mal, Khalifah Umar men­dirikan beberapa departemen yang diang­gap perlu, seperti:

  1. Departemen Pelayanan Militer. De­par­te­men ini berfungsi untuk men­dis­tri­bu­si­kan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan. Besarnya jum­lah dana bantuan ditentukan oleh jumlah tanggungan keluarga setiap pe­nerima dana.
  2. Departemen Kehakiman dan Eksekutif. De­partemen ini bertanggung jawab terhadap pembayaran gaji para hakim dan pejabat eksekutif. Besarnya gaji ini ditentukan oleh dua hal, yaitu jumlah gaji yang di­terima harus mencukupi kebutuhan ke­luarganya agar terhindar dari praktik suap dan jum­lah gaji yang diberikan ha­rus sama dan ka­lau pun terjadi per­be­daan, hal itu tetap da­lam batas-batas ke­wa­jaran.
  3. Departemen Pendidikan dan Pengem­bangan Islam. Departemen ini men­dis­tri­busikan bantuan dana bagi penyebar dan pe­ngembang ajaran Islam beserta ke­luarganya, seperti guru dan juru dakwah.
  4. Departemen Jaminan Sosial. Departemen ini menyimpan daftar bantuan untuk mereka fakir yang menerita dan miskin. tujuan dari depertmen ini adalah agar tidak seoangpun di negeri ini terabaikan kebutuhan hidupnya. semua orang yang sakit, usia lanjut, cacat, yatim piatu, janda atau oleh karena sebab lain sehingga tidak mampu memperoleh penghidupan sendiri diberi bantuan keuangan secara tahunan dari baitu mal.[14]

Properti baitul mal dianggap sebagai “harta kaum muslim” sedangkan Khalifah dan amil-amilnya hanyalah pemegang kepercayaan. Jadi, merupakan tanggung jawab negara untuk menyediakan tunjngan yang berkesinambungan untuk janda, anak yatim, anak terlantar, membiayai penguburan orang miskin, membayar untang orang-orang yang bangkrut, membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu dan untuk memberikan pinjaman tanpa bunga untuk urusan komersial. Pemberian tunjangan tersebut merupakan sesuatu yang pertama dalam sejarah duniad dimana pemerintah menyandang tanggung jawab pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian warganya.[15]

Bersamaan dengan reorganisasi lembaga baitul mal, sekaligus sebagai perealisasian salah satu fungsi negara Islam, yakni fungsi jaminan sosial, Khalifah Umar membentuk sistem diwan yang menurut pendapat yang terkuat mualai dipraktekkan untuk pertama kali pada tahun 20 H. Dalam rangka ini, khalifah menunjuk sebuah komite nassab[16] ternama yang tyerdiri dari Aqil bin Abi Thalib, Mahzamah bin Naufal dan Jabir bin Mut’im untuk membuat laporan sesnus penduduk sesuai dengan tingkat kepentingan dan golongannya.[17] Daftar tersebut tersebut disusun secara berurutan dimulai dari orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan Nabi Muhammad SAW, para shabat yang ikut perang badar dan uhud, para imigran ke Abysinia dan madinah, para pejuang Qodisiyah atau orang-orang yang menghadiri perjanjian Hudaibiyah dan seterusnya.

Jumlah tunjangan yang diberikan kepada masing-masing golongan untuk setiap tahunnya berbeda-beda. Secara umum tunjangan yang diberikan kepada mereka adalah sebagai berikut:[18]

No Penerima Jumlah
1. Aisyah dan Abbas Bin Abd Mutalib masing-masing 12000 dirham
2. Para istri nabi selain Aisyah masing-masing 10000 dirham
3. Ali, Hasan, Husain dan para pejuang badar masing-masing 5000 dirham
4. Para pejuang uhud dan para migran abisinya masing-masing 4000 dirham
5. Kaum muhajirin sebelum peristiwa fathu makah masing-masing 3000 dirham
6. Putra para pejuang badar, orang yang memeluk islam ketika fathu makah, anak-anak kaum muhajirin dan anshar, para pejuang perang qadisiyah, uballa, dan orang-orang yang menghadiri perjanjian hudaibiyah masing-masing 2000 dirham
7. Orang-orang makah yang bukan termasuk kaum muhajirin masing-masing 800 dirham
8. Warga madinah Masing-masing 25 dinar
9. Kaum muslimin di yaman, syria, irak Masing-masing 200-300 dirham
10. Anak-anak yang baru lahir yang tidak diakui masing-masing 100 d irham

Disamping itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan pensiunan berupa gandum, minyak, madu dan cuka dalam jumlah yang tetap. Kualitas dan jenis barang berbeda-beda di setiap wilayah. Peran negara yang ikut bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian bagi setiap warga negaranya ini merupakan hal yang pertama kali terjadi dalam sejarah dunia.

Setiap kebijakan pasti tidak akan mulus dalam pelaksanaannya. begitu juga dengan kebijakan yang dibuat oleh Khalifah Umar tersebut mendapat reaksi dari salah seorang sahabat yang bernama Hakim bin Hizam. Menurutnya dalam hal ini, tindakan Umar akan memicu lahirnya sifat malas dikalangan para pedagang yang berakibat fatal bagi kelangsungan hidup mereka sendiri jika suatu saat pemerintah menghentikan kebijakan tersebut.[19]

  1. b. Kepemilikan Tanah

Sepanjang pemerintahan Umar banyak daerah yang ditaklukkan melalui perjanjian damai. Penaklukan  ini banyak menimbulkan masalah baru. Utamanya adalah berhubungan dengan kebijakan negara tentang kepemilikan tanah yang ditaklukkan. Dari sinilah muncul permasalahan bagaimana pembagiannya, diantara sahabat ada yang menuntut agar kekayaan tersebut didistribusikan kepada para pejuang, sementara yang lain menolak. Setelah mengalami perdebatan yang panjang, Umar memutuskan bahwa tanah masih bisa ditempati oleh penduduknya dengan memberlakukan tanah tersebut sebagai fa’i, dan prinsip yang sama diadopsi untuk kasus-kasus yang akan datang. Umar menetapkan peraturan yang berhubungan dengan tanah sebagai berikut:

  1. Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik orang muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat, sedangkan bagian yang berada dibawah perjanjian damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat dialihkan.
  2. Kharaj dibebankan kepada semua tanah yang berada dibawah kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memluk agama Islam. Dengan demikian, tanah seperi itu tidsak dapat dikonversi menjadi tanah usyur.
  3. Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan selama mereka membayar kharaj dan jizyah
  4. Tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang diklaim kembali (seperti Basra)s bila ditanami oleh orang muslim diperlakukan sebagai tanah usyur
  5. Di Sawad (Irak), kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rofz (satu ukuran lokal) gandum dan barley (jenis gandum) dengan anggapan tanah tersebut dapat dilalui air . Harga yang lebih tinggi dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan
  6. Di Mesir menurut sebuah perjanjian amar, dibebankan dua dinar, bahkan hingga tiga Irdab gandum, dua qist untuk minyak, cuka, dan maddu. Rancangan ini sudah disetujui oleh Khalifah

Perjanjian Damaskus (Syiria) menetapkan pembayaran tunai, pembagian tanah dengan kaum Muslim. Beban perkepala sebesar satu dinar dan beban jarib (unit berat) yang diproduksi per jarib (ukuran) tanah[20]

  1. c. Zakat

Kegiatan beternak sudah menjadi mata pencaharian sebagian umat muslim untuk menghidupi diri dengan memperdagangkannya. Di Syiria dan diberbagai wilayah kekuasaan Islam lainnya banyak yang melakukan beternak kuda dan memperdagangkannya, bahkan pernah diriwayatkan bahwa seekor kuda Arab Taghlabi diperkirakan bernilai 20.000 dirham dan orang-orang islam terlibat dalam perdagangan ini. Karena maraknya perdagangan kuda, mereka menanyakan kepada Abu Ubaidah selaku Gubernur Syiria tentang kewajiban membayar zakat kuda dan budak. Gubernur memberitahukan bhwa tidak ada zakat atas keduanya. Kemudian mereka mengusulkan kepada Khalifah agar ditetapkan kewajiban zakat atas keduanya, akan tetapi permintaan tersebut tidak dikabulkan. Mereka kemudian mendatangi kembali Abu Ubaidah dan bersikeras ingin membayar. Akhirnya Gubernur menulis surat kepada Khalifah dan Khalifah Umar menanggapinya dengan sebuah intruksi agar Gubernur manarik zakat dari mereka dan mendistribusikannya kepada para fakir miskin serta budak-budak. Sejak saat itu, zakat kuda ditetapkan sebesar satu dinar atau atas dasar ad valorem, seperti satu diham untuk setiap empat puluh dirham.[21]

Selain kasus diatas, juga ada satu kasus lagi yang terjadi pada masa Khalifah Umar. diriwayatkan bahwa gubernur Thaif melaporkan bahwa pemilik sarang-sarang tawon tersebut dilindungi secara resmi. Umar mengatakan bahwa bila mereka membayar usyur, maka sarang tawon mereka akan dilindungi. Apabila tidak mau maka tidak akan mendapat perlindungan. Menurut laporan Abu Ubaid, Umar membedakan madu yang diperroleh dari daerah pegunungan dan yang diperoleh dari lading. Zakat yang ditetapkan adalah seperduapuluh untuk madu yang pertama dan sepersepulu untuk madu jenis kedua.[22]

Selain itu, khalifah Umar mengambil suatu kebijakan untuk menunda pengambilan zakat yang khusus pada binatang ternak akibat terjadinya krisis pada tahun Ramadah dengan banyaknya hewan ternak yang mati.[23] Diriwayatkan bahwa khalifah Umar memerintahkan para amilnya pada saat krisis Ramadah dengan perkataannya,”Beikanlah zakat kepada orang yang pada masa krisis ini masih memiliki seratus ekor kambing, dan tidak kepada orang yang dalam kisis ini masih meiliki dua ratus kambing.”[24]

  1. d. Usyur[25]

Sebelum Islam datang, setiap suku atau kelompok suku yang tinggal dipedasaan membayar pajak (usyur) pembelian dan penjualan (maqs). Setelah Negara Islam berdiri di disemenanjung Arab, Nabi mengambil inisiatif untuk mendorong usaha perdagangan dengan menghapuskan bea masuk antar propinsi yang masuk dalam daerah kekuasaan dan masuk dalam perjanjian yang ditangani oleh beliau bersama dengan suku-suku yang tunduk kepada kekuasaanya. Secara jelas dikatakan bahwa pembebanan sepersepuluh hasil pertanian kepada pedagang Manbij (Hierapolis) dikatakan sebagai yang pertama dalam masa Umar.

Orang-orang Manbij adalah orang-orang harbi yang meinta izin kepada Khalifah memasuki negara muslim untuk melakukan perdagangan dengan membayar sepersepuluh dari nilai barang. Setelah berkonsultasi dengan beberapa sahabat yang lain Umar memberikan izin. Namun, terdapat kasus khusus ketika Abu Mussa Al-As’ari menulis surat kepada Khalifah Umar yang menyatakan bahwa pedagang muslim dikenakan pajak sepersepuluh ditanah harbi. Khalifah Umar menyarankan agar membalasnya dengan mengenakan pajak pembelian dan penjualan yang normal kepada mereka. Ada perbedaan versi menurut tingkat ukurannya. Tingakat ukuran yang paling umum digunakan adalah 2,5% untuk pedagang muslim, 5% untuk kafir dzimmi, dan 10% untuk kafir harbi dengan asumsi harga barang melebihi dua ratus dirham. Menurut Ziyad bin Huddair, seorang asyir[26]dijembatan Efrat mengatakan kita biasanya mengumpulkan  usyur hanya dari pedagang Roma saja. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kafir harbi yang tinggal di negara Islam selama pereode 6 bulan atau kurang dikenai sepuluh persen dan, bila memperpanjang masa tinggal hingga satu tahun, mereka dikenakan pajak sebesar 5%.[27]

Begitu juga usyur dibebankan kepada suatau barang hanya sekali dalam setahun. Ini sesuai dengan intstruksi Umar kepada pegawainya agar tidak menarik usyur dua kali dalam setahun walaupun barang tersebut diperbaharui. Ini semua diinstruksikan setelah adanya komplain dari orang yang telah ditarik usyur dua kali atas kudanya.

Pos pengumpulan usyur terletak diberbagai tempat yang berbeda-beda, termasuk di ibukota. Menurut Saib bin Yazid, pengumpulan usyur dipasar-pasar Madinah, orang-orang Nabaetean yang berdagang di Madinah juga dikenakan pajak pada tingkat yang umum, tetap setelah beberapa waktu Umar menurunkan prosentasenya menjadi 5% untuk minyak dan gandum, untuk mendorong import barang-barang tersebut di kota.[28]

  1. e. Sedeqah dari Non-Muslim

Pada masa Khalifah Umar tidak ada ahli kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen Bani Thaghlib yang keselurahan kekayaannya terdiri dari hewan ternak. Mereka  membayar dua kali lipat dari yang dibayar oleh orang muslim. Bani Tanghlib merupakan suku Arab yang gigih dalam peperangan. Umar mengenakan Jizyah kepada mereka, tetaapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak jizyah dan malah membayar sedeqah. Nu’man  bin Zuhra memberikan alasan untuk kasus mereka dengan mengatakan bahwa pada dasarnya tidak bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya keberanian merek menjadi aset negara. Umar pun memanggil mereka dan menggandakan sedeqah yang harus mereka bayar dengan syarat mereka setuju untuk tidak membaptis seoraaang anak tau memaksanya untuk mernerima kepercayaan mereka. mereka setuju dan menereima untuk membayar sedeqah ganda.

Baladzuri mereiwayatkan bahwwa Ali seringkalim mengatakan bahwa bila dirinya berkesempatan untuk melakukan negosiasi dengan Bani Taghlib, dia akan menggunakan caranya sendiri dengan mereka. Menurut Ali, dengan mengkristenkan anak-anak mereka, Bani Taghlib telah melanggar persetujuan dan tidak lagi dapat dipercaya. Walaupun demikian, kaum muslimin sepakat bahwa yang didapat dari Bani Taghlib tidak untuk dibelanjakan seperti halnya  kharaj karena sedeqah tersebut merupakan pengganti pajak.[29]

  1. f. Mata Uang

Pada masa Nabi dan sepanjang masa Khulafa ar-Rosyidin mata uang asing dengan berbagai bobot sudah dikenal di Arabia, seperti dinar, sebuah koin emas dan dirham sebuah koin perak. Bobot dinar adalah sama dengan satu mistqal atau sama dengan dua puluh qirat atau seratus grain barley. Bobot dirham tidak seragam. Untuk menghindari kebingungan , Umar menetapkan bahwa dirham perak seberat 14 qirat dan satu mistqol adalah tujuh per sepuluh.[30]

Ada beberapa catatan dalam hal penerbitan mata uang pada masa Khalifah Umar yang penjelasannya sebagaimana berikut:

  1. Penerbitan uang pada masa Umar hanya terbatas pada dirham, sementara dinar tidak dicetak melainkan pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan
  2. Percetakan dirham tidak dengan ukiran ala Arab murni, namun dicetak dengan ala Ajam dengan penambahan ungkapan-ungkpan Arab. Dan penting bahwa uang tersebut sesuai dengan tolak ukur syari’ah (enam daniq) dan dicetak dengan murni, selamat dari kecurangan  yang diderita oleh dirham pada masa pemerintahan Persia.
  3. Beberapa sumber tidak menyebutkan bahwa Umar mengumumkan dirham yang dicetaknya tersebut sebagai mata uang resmi dan meniadakan muamalah dengan dirham yang lain.[31]

Penerbitan merupakan masalah yang dilindungi oleh kaedah-kaedah umu syari’at Islam. Sebab penerbitan uang dan penentuan jumlahnya merupakan hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan umat, sedangkan bermain-main dalam penerbitan uang akan berdanpak pada terjadinya kemudhorotan umat. misalnya hilangnya kepercayaan terhadap terhadap mata uang, terjadinya pemalsuan, pembengkakan nilai uang (inflasi).

  1. g. Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara

Seperti yang telah disinggung di muka, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendapatan negara adalah mendistribusikan seluruh pendapatan yang diterima. Kebijakan tersebut mengalami perubahan pada masa Khalifah Umar. Khalifah Umar mengklasifikasikan pendapatan negara menjadi empat bagian, yaitu:

  1. Pendapatan zakat dan usyur. Pendapatan ini didistribusikan di tingkat lokal dan jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut disimpan di baitul mal pusat dan dibagikan kepada delan ashnaf seperti yang telah ditentukan oleh al-Quran.
  2. Pendapatan khums dan sedekah pendapatan ini didistribusikan kepada para fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang muslim atau bukan. Dalam sebuah riwayat, diperjalanan menuju Damaskus Khalifah  Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang menderita penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut, khalifah umar segera memerintahkan pegawainya agar memberikan dana kepada oirang tersebut yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah dan makanan yang diambilkan dari persediaan untuk para petugas.
  3. Pendapatan kharaj, fa’i, jizyah, ‘usyur dan sewa tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiunan dan dana bantuan serta menutupi biaya opraasional administrasi, kebutuhan militer dan sebagainya.
  4. Pendapatan lail-lain. pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaa anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.[32]

Perhatian Umar tehadap pendapatan itu lebih besar daripada perhatiannya terhadap jumlah pendapatan. Umar mengawasi untuk memastikan bahwa pemasukan pendapatan tersebut baik. Maka, tidak boleh dana pendapatan masuk pada baitul mal kecuali yang halal dan tidak ada di dalamnya kezdoliman kepada seseorang. Karena pendapatan yang diragukan tidak memberi kebaikan bagi umat, bahkan menghilangkan berkah dan menyebabkan masalah ekonomi dan sosial yang bermacam-macam.

Diantara alokasi pengeluaran dari harta baitul mal setelah mendistribusikan kepada orang yang berhak antara lain kepada orang-orang miskin yang lemah, anak-anak yatim, janda-janda dan orang-orang tua, dana pensiunan merupakan pengeluaran negara yang paling penting. Prioritas berikutnya adalah dana pertahanan negara dan dana pembangunan. Khalifah Umar menempatkan dana pensiunan di tempat pertama dalam rangsum bulanan (azroq) pada tahun 18 H, dan selanjutnya pada tahun 20 H dalam bentuk rangsum tahunan (atya). Dana pensiunan ditetapkan untuk mereka yang akan dan pernah bergabung dalam kemiliteran. Beberapa orang yang berjasa diberi pensiunan kehormatan (shoraf) seperti yang diberikan kepada istri Rosulullah atau para janda dan anak pejuang yang telah wafat. Non-Muslim yang bersedia ikut dalam kemiliteran juga mendapat penghargaan serupa dan dana tersebut juga termasuk bagi pegawai sipil.

Sistem administrasi dana pensiunan dan rangsum dikelola dengan baik. Dalam setahun, dana pensiunan dibayarkan dua kali, sedangkan pemberian rangsum dilakukan secara bulanan. Administrasi dana pensiunan terdiri dari dua bagian, bagian pertama terdiri berisi catatan sensus dan jumlah yang telah menjadi hak setiap penerima dana dan bagian kedua berisi laporan pendapatan. Dana teersebut didistribusikan melalui seorang arif yang masing-masing bertanggung jawab atas sepuluh orang penerima dana.[33]

Seperti halnya yang dilakukan oleh Rosulallah SAW, Khalifah Umar menetapkan bahwa negara bertanggung jawab membayarrkan atau melunasi utang orang-orang yang menderita pailit, atau jatuh miskin, membayar tebusan para tahanan muslim, membayar diyat orang-orang tertentu, serta membayar biaya perjalanan para delegasi dan tukar menukar hadiah dengan negara lain. Dalam perkembangan berikutnya, setelah kondisi baitul mal dianggap cukup kuat, ia menambahkan beberapa pengeluaran lain dan memasukkannya dalam daftar kewajiban negar, seperti memberi pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.[34]

4. ANALISIS KEBIJAKAN UMAR BIN KHATTAB

Pendekatan dan upaya-upaya ekonomi pada masa lalu selalu terjalin erat dengan moral manusia, persepsi kultural dan keagamaan, aspirasi, dan keprihatinan. Pandangan dunia manusia, visi masyarakat, dan kerangka penting dalam membentuk keputusan ekonomi mereka yang berupa kepentingan diri, penciptaan kekayaan, dan hubungan kepemilikan tetap menjadi titik sentral. Sehingga terbentuklah sistem-sitem ekonomi yang bermacam-macam, seperti sosialis, kapitalis, feodalisme dengan dominansi sistem kapitalis lewat premium mobile mekanisme pasar yang diklaim dapat memecahkan semua persoalan manusia.

Islam adalah konsep komprehensif dan sempurna dengan satu sifat dasar atau “basic feature” dari Islam itu adalah sebagai rohmatan lil ‘alamin, memberikan pedoman semua hal termasuk ekonomi kendatipun untuk hal-hal tertentu hanya konsep dasarnya saja. Untuk yang sifatnya rincian diserahkan pada pola pikir umatnya yang juga sudah harus mengikuti filosofi Islam yang terbentuk dari keyakinan pada keimanan dan tauhid ilahiyah. Ekonomi dalam Islam misalnya tentu sudah ada referensinya kendatipun oprasionalnya tidak selengkap teori ekonomi kapitalise saat ini.

Pereode Khalifah Umar bin Khattab merupakan pereode keemasan Islam yang didalamnya semua aspek mulai dari dakwah, politik dan ekonomi tumbuh dan berkembang pesat dengan mengacu pada rule syari’at Islam. Keberhasilan pereode ini tidak terlepas dari pribadi khalifah Umar sendiri yang tegas dan peduli akan kemajuan Islam.

Jika kita analisa keberhasilan Khalifah Umar pada dalam roda pemerintahan dan perekonomian dengan kebijak-kebijakan yang diambil, maka ada beberapa hal yang  menjadi faktor keberahasilan Khalifah Umar dalam menerapkan kebijakan ekonomi dalam pemerintahannya, yaitu:

  1. Perhatian umar tentang masalah ekonomi dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil ketetapan di dalamnya melainkan dengan perenungan dan memperhatikan tentang danpak sekarang dan akan datang. Seperti pengambilan kebijakan tidak mengambil zakat hewan ternak pada tahaun ramadah.
  2. Umar dalam megambil kebijakan menggunakan jalan meusyawarah  dan kembali kepada nash-nash al-qur’an dan as-sunnah untuk mencari hukum di dalamnya. Dan jika ditemukan nash hukum, maka menetapkan keputusan mayoritas peserta sidang musyawarah. Seperti permasalah kepemilikan tanah pada daerah taklukan.
  3. Lebih mengedepankan kemanfaatan umum daripada kepentingan pribadi. Seperti permasalah pembentukan baitul mal dan pendistribusiannya.
  4. Umar adalah pribadi yang bertanggung jawab dan zuhud serta banyak memikirkan rakyat yang ditopang dengan ketegasan beliau dalam mengambil keputusan. Umar tidak segan-segan mengambil resiko dengan memecat pegawai pemerintahan yang melakukan kesalahan demi terciptanya kondisi pemerintahan yang bersih. Seperti beliau mengambil kebijakan bagi pegaawi pemerintahan tidak diperbolehkan melakukan aktifitas perdagangan. Dengan alasan kawatir harta negara disengaja atau tidak disengaja masuk dalam proses perdagangan tersebut.

Selain point di atas, keberhasilan Umar dalam penerapan kebijakan ekonomi adalah semua kebijakan yang diambil dan diputuskan dalam majlis syuro langsung diaplikasikan dalam masyarakat, mulai dari daerah ibukota sampai propinsi-propinsi. Dengan sumber daya pelaksananya yang berdedikasi tinggi, amanah dan melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab.

C. PENUTUP

Dalam sejarah, terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil untuk kemaslahatan hidup generasi sesudahnya. Karena itu, salah satu ungkapan seorang ulama’, bahwa tidak akan baik generasi akhir umat ini melainkan dengan apa yang menjadikan generasi pertamanya menjadi baik. dan sebaik-baik umat aalah umat yang mau belajar dari masa lalu.

Sebagai khalifah kedua, Umar bin Khattab sukses dalam mengatur pemerintahan dan ekonomi negara. Mungkin tidak salah jika dikatakan bahwa Umar bin Khattab telah menunjukkan kepada dunia bahwa penerapan syari’at yang suci ini sama sekali tidak menghalangi daya kreatif dan inovasi sang pemimpin tertinggi sebuah negara dalam mewujudkan negara yang damai dan makmur.  Syari’at disamping memberikan batasan , patron dan rambu-rambu agar setiap kebijakan tidak menjadi sumber laknat, juga memberikan dorongan  dan motivasi yang sangat kuat kepada pemimpin untuk bekerja keras mewujudkan apa yang paling mashlahat bagi rakyatnya.

Umar sebagai pemimpin khalifah berhasil  responif terhadap permasalahan-permasalahan dan kasus-kasus yang terdapat dalam masyarakat Islam terkhusus pada masalah perekonomian dengan mencetuskan beberapa kebijakan ekonomi yang tidak memihak dengan prinsip keadilan yang telah diatur dalam al-Quran, as-Sunnah dan ijma’ sahabat. Kebijakan-kebijakan yang diambil pada masa Umar secara garis besar dihimpun dalam delapan bentuk, yaitu:

  1. Pembentukan baitul mal
  2. Kepemilikan tanah
  3. Zakat
  4. Usyur
  5. Mata uang
  6. Sodaqah orang non muslim
  7. Klasifikasi dan alokasi pendapatan negara

semua kebijakan yang diputuskan mengenahi ketujuh bentuk di atas, terbukti menjadi landasan awal bagi kemajuan pereode Umar diberbagai sektor ekonomi dengan ketegasan dan pengawasannya terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut.

Sebelum tulisan diakhiri, penulis memohon kritik membangun dan saran, guna memperbaiki dan lebih tajamnya pembahasan makalah ini, sehingga pemahaman-pemahaman yang daiperoleh lebih komprehensif. Dan tidak lupa, kami mengajak pada diri pribadi dan orang yang inters dengan makalah ini untuk meneladani serta dapat mengaplikasikan dalam kehidupana sehari-hari pribadi Umar yang termasyhur akan ketegasan dan keberaniannya menerapkan aturan dan memegang prinsip terlebih pada masalah agama.


* Makalah ini disampaikan pada tanggal 21 Jnuari 2008 dalam seminar kelas Hukum Bisnis Syaria’ah  Program Studi Hukum Islam, pada mata kuliah Aktifitas Ekonomi Islam (Bisnis Syari’ah)

[1] Muqoddimah kitab karangan Ibnu Kholdun yang di dalamnya menjelaskan secara ilmiyah prinsip-prinsip yang mengatur jatuh bangunnya sebuah dinasti, negara dan peradaban dengan melakukan analisis terhadap faktor-faktor yang saling berhubungan seperti faktor moral, psikologis, politik, prinsip-primsip ekonomi, sosial, demografi dan sejarah.

[2] Ia dikenal dengan bukunya yang membicarakan perpajakan dalam Islam (Kitab al-Kharaj)

[3] Retno Kurnianingsih, Perkembangan Sistem Ekonomi Islam Dan Pengaruhnya Terhadap Prraktek Akutansi, dalam Jurnal Kompetensi, Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, Vol. 2, No. 3, September-Desember, 2004, hlm. 228.

[4] M.A. Sabzwari, Economic and Fical Sistem During Khilafat E-Roshidah, dalam Journal of Islamic Bangking and Finance, Karachi, Vol. 2, No. 4, 1985, hlm. 50. Dan untuk lebih jelasnya baca Michail H hart, The Hundred, A Ranking of The Most Influential Persons in History (New York: A and W Visual Library, 1978), hlmn. 275. Hart menempatkan Umar pada posisi ke-51 dari daftar orang berpengaruh di dunia.

[5] Kunyah adalah nama julukan atau gelar yang didahului oleh lafad Abu atau Ummu. Sedangkan laqob adalah nama gelar atau julukan yang menunjukkan arti memuji atau mencela. untuk lebih jelasnya baca Ibnu Aqil, Syarah Alfiyah Ibnu Malik Bab ‘Alam,(Surabaya: Al-Hidayah), hlm. 19

[6] Ibnu Ahmad Al Haris, Jaribah, Fiqih ekonomi Umar bin Al-Khattab¸terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari (Jakarta Timur: Kholifa, 2006), hlm. 19.

[7] ibid,.hlm. 24.

[8] Iran dan Irak pada waktu itu adalah negara monarkhi yang menggunakan sistem ekonomi feodalisme yang membagi ekonomi menjadi dua kelas, yaitu kaya dan miskin. Kelas kaya terdiri dari raja, anggota  istana, para pejabat, para baron, tuan tanah, dan pemimpin agama. kelas ini menguasai segala sumber produksi yang ada. Sedangkan  kelas miskin terdiri dari peetani, tukang-tukang, dan para penghasil barang, dan mereka ini tidak diperbolehkan untuk mengkonsumsi barang yanag mereka hasilkan sendiri. cara ini dimasksudkan untuk membantu kelompok kaya agar selalu kaya dengan mengeksploitasi kelompok orang-orang miskin. dan yang paling berkuasa dalam penerrapan system ini adalah para raja.

[9] Majid, M. Nazori, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf (Yogyakarta: Pusat Studi Islam, 2003), hlm. 62

[10] Sosialisme berakar dari paham sosialis yang lahir pada abad-18. Inti dari aliran sosialisme adalah lebih mengutamakan kesejahteraan masyarakat umum daripada kesejehateraan pribadi. Aliran ini berprinsip tentang urgensi pemerintah dalam dunia perekonomian, dimana tidak diakui adanya kepemilikan individu. Resources dan semua factor produksi; tanah, industri dan infrastruktur yang ada merupakan hak kepemilikan negara. Bahkan, segala kebijakan dan perencanaan tentang stabilitas perekonomian ditentukan sepenuhnya oleh pemerintah. Untuk lebih mendalam baca DR. Said Sa’ad Marthon, Ekonomi Islam Di Tengan Krisi Ekonomi Global, trjm. Ahmad Ikrom(Jakarta Timur: Zhikrul Hakim, 2004), hlm. 11. dan Abdullah Abdul Husai at-Tariqi, Ekonomi Islam Prinsip, dasar, dan Tujuan(Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004) hlm. 42

[11] Majid, M. Nazori, Pemikiran Ekonomi…………,hlm. 64

[12] Adalah orang yang selama hidupnya Nabi menyimpan data mengenahi suku-suku dan sumber airnya serta keluarga anshar.

[13] Baladhuri, Kitab Futuh Al-Buldan, terj. Pihilp Khori Hittli (Bairut:1996), hlm. 20.

[14] Rakman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam Jilid I (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), hlm. 171.

[15] Majid, M. Nazori, Pemikiran Ekonomi …………….., hlm. 189

[16] adalah orang yang ahli dalam sejarah keluarga dan keturunan

[17] Ra’ana, Irfan Mahmud, Ekonomi Pemerinthan Umar bin Al-Khattab (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997),hlm. 155

[18] Karim, Adiwarman Azhar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) hlm.63

[19] Peringatan ini terbukti benar ketika tunjangan para pedagang dihentikan pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, Hijaz menjadi kota yang tidak produktif dan tidak dapat memperoleh vitalitasnya kembali

[20] Majid, M. Nazori, Pemikiran Ekonomi …………….., hlm. 191

[21] Karim, Adiwarman Azhar, Sejarah Pemikiran………………..hlm. 69.

[22] ibid,. hlm. 70

[23] Syekh Mar’I bin Yusuf berpendapat bahwa imam dan petugas zakat boleh menunda zakat dari orang-orang yang wajib kepadanya karena kemaslahatan, seperti ketika masa paceklik. Lihat beberapa pendapat fuqoha’ tentang penundaan pembayaran zakat pada DR. Yusuf  Al-Qordhowi dalam  Fiqh Az-Zakat.

[24] Ibnu Ahmad Al Haris, Jaribah, Fiqih ekonomi Umar bin Al-Khattab…………………, hlm. 383.

[25] Usyur adalah apa yang diambil oleh petugas negara dari harta yang dipersiapkan untuk dagang ketika melintasi daerah Islam, sehingga usyur ini lebih serupa deangan apa yang dikenal pada masa sekarang dengan istilah “bea cukai”.

[26] orang yang bertugas menarik pajak

[27] ibid,. hlm. 71

[28] ibid,. hlm. 72

[29] ibid,. hlm. 73

[30] Majid, M. Nazori, Pemikiran Ekonomi …………….., hlm. 193

[31] Ibnu Ahmad Al Haris, DR. Jaribah, Fiqih ekonomi Umar bin Al-Khattab………………………, hlm. 338

[32] Karim, Adiwarman Azhar, Sejarah Pemikiran………………..hlm. 74.

[33] ibid,. hlm. 76.

[34] ibid,. hlm. 78.

Komentar
  1. ferry berkata:

    assalamu’alaykum…
    izin copy akhi….
    syukron..

  2. paijhand... berkata:

    wahh,,, tlisan.naa kug byag beud,,??????
    …. jdi puziingg,,?hehe _”…

Tinggalkan komentar